Menghajar Tembok

Menghajar Tembok
Tersebutlah seorang laki-laki di sebuah padang mahaluas.
Ia melangsungkan hidup di padang itu atas limpah-ruah keramahan rumput-rumput yang selalu hijau, pohon-pohon rindang yang tak henti melahirkan buah, telaga-telaga bening yang tiada kering dan binatang-binatang yang bersahabat.
Pantang bagi laki-laki itu untuk membabat rumput, menebang pohon dan mengotori telaga. Biasanya ia akan menggunakan batu, ranting kering, tulang dan kulit binatang yang sudah mati sebagai alat-alat penyokong kehidupan sehari-hari.
Entah sudah berapa lama ia hidup di padang itu. Petang pula asal-usulnya; semuanya serbamungkin. Mungkin ia sisa-sisa keluarga manusia yang hidup pada zaman nirleka. Mungkin ia hasil olah kelamin pasangan pemburu yang selama tahunan melakukan perburuan sekaligus persetubuhan di padang itu. Mungkin ia anak yang tak terkehendaki kelahirannya sehingga bapak atau ibunya menyurukkannya ke hamparan rumput di padang itu. Mungkin ia janin dalam rahim seorang ibu yang sekarat di tengah kecamuk perang sehingga kemustahilan berkenan menyelamatkannya ke padang itu. Mungkin ia anak dari salah satu induk binatang yang bunting karena ulah pengidap zoophilia. Mungkin ia punya ruh yang jauh sebelum kelahirannya meminta kepada Tuhan agar menjadikannya sebagai khalifah tunggal di padang itu. Mungkin ia punya takdir dan nasib yang memang harus demikian. Mungkin dan mungkin.
Ia sudah hidup di padang itu sejak masih merah. Ia tidak hanya mereguk susu kambing, susu sapi, susu kuda, tapi juga susu macan, susu monyet, susu anjing dan susu binatang-binatang lain yang tak lumrah bagi manusia kebanyakan. Buah dan air telaga memberinya asupan vitamin dan mineral yang cukup. Wajar bila tubuhnya kokoh dan tegap. Naluri dan otot-ototnya pun amat terlatih sehingga kecepatan, kelincahan dan kekuatannya mencapai level luar biasa. Itulah sebab kenapa berjenis-jenis binatang yang ia reguk air susunya dan ia tiru tingkah-lakunya merasa kagum kepadanya.
Karena tidak ada manusia lain, ia pun menikmati waktu bersama binatang-binatang itu. Bak sahabat senasib, sepenanggungan dan sepengertian, mereka tertawa, bermain, bercanda, makan dan tidur bersama. Mereka menyuguhkan ketenangan, kedamaian dan kenyamanan di padang mahaluas itu.
***
Hingga tibalah saatnya angin empat penjuru meliuk-liukkan tangga nada lengkap dengan not-not baloknya. Menghantarkan bahak tawa, isak tangis, tetabuhan, bising mesin, geram marah, bisik lembut, kalimat-kalimat asing, letus pistol, gemitik dawai-dawai, riuh pesta, jerit lapar, ledak-gebyar kembang api, hiruk-pikuk pasar, desah tertahan, gemerincing kereta, hentak-ketuk dangdut koplo…. Membuat laki-laki antah-berantah itu terkejut, terpana, terlena, terenyuh dan tercenung. Bahkan, irama ketipung, seruling, tamborin dan melodi yang rancak menyatu dalam genre dangdut koplo itu memancing geol di pinggulnya.
Tak siang, tak malam, suara-suara itu terus mengalun di pendengarannya. Suara-suara itu seperti mengapung di udara yang menyungkupi padang. Tidur jadi tak nyenyak. Makan pun jadi tak nikmat. Ia merasakan panggilan kehidupan lain di luar sana yang lebih variatif. Tiba-tiba ia merasa ketenangan, kedamaian dan kenyamanan padang adalah rutinitas yang membosankan. Ia mulai kehilangan selera untuk bermain dan bercanda bersama sahabat-sahabat binatangnya.
Suatu hari, saat menyendiri di tepi telaga, ia menatap bayangan wajahnya—sesuatu yang selama ini ia lewatkan. Seketika ia meraba kepala, hidung, mulut, mata, telinga, sekujur tubuhnya, lalu membandingkannya dengan makhluk-makhluk di sekitarnya. Ia kemudian menyadari perbedaan antara dirinya dengan makhluk-makhluk itu. Tak urung, sebuah pertanyaan datang mengusik: siapa aku?
Pertanyaan itu menjadi hantu yang menggentayangi benaknya. Pertanyaan itu seolah menggumpal dalam alunan suara-suara dari kehidupan lain yang terus menggoda pendengarannya. Pertanyaan itu mencengkeram pergelangan kakinya, memaksanya keluar dari keluasan padang dan meninggalkan segala isinya.
Akhirnya, ia memanggil sahabat-sahabat binatangnya. Mulai gajah sampai tengu segera berkumpul di hadapannya.
“Sahabat-sahabatku, sudah saatnya kita berpisah.”
“Berpisah?”
“Yak! Aku harus meninggalkan kalian.”
“Adakah kami telah membuat kau marah atau sedih sampai kau merasa harus meninggalkan kami?”
“O, tidak, kalian sahabat-sahabat yang baik. Tapi tahukah kalian, belakangan ini aku mulai menyadari kalau kita berbeda. Aku bukan kalian, kalian bukan aku.”
“Betul, kita memang berbeda. Namun, bukan berarti perbedaan ini menghalangi kita untuk menciptakan ketenangan, kedamaian dan kenyamanan bersama. Nyatanya, kita bisa saling mengasihnyayangi, kita…”
“Stop! Justru semua itu membuatku bosan!” Mulutnya menyeringai. Matanya sinis memandang sahabat-sahabat binatangnya. “Aku ingin kehidupan yang baru. Aku juga ingin tahu siapa sebenarnya diriku. Apakah di antara kalian ada yang tahu siapa aku, hah?”
Hening. Angin mengesiur. Daun-daun menggemerisik. Ranting-ranting mengeretap. Rumput-rumput mendesis. Binatang-binatang saling pandang. Laki-laki antah-berantah, satu-satunya manusia, menegak kaki di bentang alam yang mahaluas itu; rambutnya memburai tak beraturan, tubuhnya―yang hanya memakai cawat loreng―tampak mengkilat terpanggang terik matahari, otot-totnya menggembung, busur dan anak panah menyilang di punggung, pisau dan kapak tulang menggelantung di pinggang.
“Sudahlah, aku tak perlu jawaban kalian,” ia mengibaskan tangan. “Andai kalian tahu, aku pasti semakin penasaran dan semakin ingin meninggalkan padang ini.”
Ia melangkah, namun seekor singa melompat menghalangi langkahnya.
“Jangan tinggalkan kami!”
“Minggir!”
“Tidak! Jangan tinggalkan kami! Sudah takdirmu untuk bersama kami.”
“Omong kosong! Minggir!”
Singa mencoba merenggut tubuhnya. Tapi ia cepat menghindar sambil melayangkan pukulan. Dieeegh! Singa langsung rubuh dengan kepala rengkah. Darah kental salah satu sahabatnya menciprati tangan, wajah dan sebagian dadanya. Sahabat-sahabat binatangnya yang lain terperangah oleh kekejaman yang seumur-umur baru mereka saksikan.
“Kenapa kaubunuh sahabat kita itu? Dia, seperti juga kami, hanya tidak ingin kautinggalkan!”
“Dia menghalangi langkahku,” dengusnya menatap bengis singa yang ambruk mencium ujung jempolnya. Lalu ia menoleh pada sahabat-sahabat binatangnya yang lain. “Nasib kalian juga akan sama dengan singa ini bila menghalangi langkahku.” Ia meludahi mayat singa. “Tidak kami sangka, ambisimu ternyata sedemikian kejam hingga kau rela merusak ketenangan, kedamaian dan kenyamanan ini.”
“Hoek, cuih!” Sekali lagi ia meludah sebelum kemudian mengayun langkah. Memunggungi sahabat-sahabat binatangnya.
“Hei, tunggu!”
Ia menghentikan langkah. Membalikkan badan.
“Kau telah merusak semuanya. Jangan seenaknya pergi!”
“Apa mau kalian?”
“Arrrrrrgh! Grrrrgh!”
Tanpa banyak cingcong lagi sahabat-sahabat binatangnya menyerbunya. Lekas ia hunus pisau dan kapak tulang dari pinggangnya. Senjata-senjata di tangannya segera mencari korban. Menetak, menusuk, menyayat jantung dan hati sahabat-sahabat binatangnya. O, tidak. Persahabatan mereka telah hancur! Murka telah menguasai mereka!
Berkat kecepatan, kelincahan dan kekuatannya yang sudah mencapai level luar biasa, dalam waktu yang relatif singkat, ia berhasil membuat binatang-binatang itu jadi mayat. Daun, dahan dan ranting meratap-ratap. Rumput-rumput merah oleh darah. Darah (bekas) para sahabat yang juga membasahi tubuhnya. Napasnya memburu. Tatapannya nyalang. Senjata tergenggam erat.
Meski semua binatang yang menghalanginya sudah mati, ternyata ia belum puas. Maka, dengan cara alamiah yang ditekuninya selama sekian lama, ia kemudian membakar mayat binatang-binatang itu, rumput-rumput, pohon-pohon, seisi padang. Seakan semua itu adalah kenangan atau dosa menyakitkan yang mesti dihapuskan.
Tapi begitu api padam, ia melihat pagar tembok kelabu yang mengelilingi padang. Pagar tembok itu menjulang tinggi, membelah gumpal-gumpal awan, menyundul biru langit. Selain tinggi, juga sangat tebal, setebal-tebalnya tebal seolah tiada lagi yang lebih tebal. Sungguh tak terduga bila padang yang selama ini ia akrabi ternyata dikelilingi pagar tembok.
Kenyataan baru yang terhidang di depan matanya itu membuat dirinya merasa terpenjara sehingga semakin ingin meninggalkan padang. Namun, tak mudah baginya untuk menembus pagar tembok itu. Sedikit demi sedikit ia melukai pagar tembok itu guna membuat lubang yang akan melepaskannya ke dunia luar. Berhari-hari, berminggu-minggu, berbulan-bulan, bertahun-tahun. Selama itu, suara-suara menggoda terus mengiringi kegigihannya.
Lubang di pagar tembok akhirnya menganga jua. Cepat-cepat ia meloloskan diri dengan senyum kemenangan. Anehnya, lubang buatannya langsung tertutup saat ia sudah berada di luar pagar tembok. Sejenak dahinya mengerut menyaksikan keanehan itu. Lalu, ia berlari dan terus berlari menuju suara-suara menggoda itu.
Tapi kenyataan punya kehendak lain. Ia masih harus melewati padang mahaluas lain dan membantai binatang-binantang lain yang menghadangnya. Setelah membakar semuanya, ia pun kembali melihat pagar tembok lain yang juga sekelabu, setinggi dan setebal pagar tembok pertama yang ia lubangi. Maka, ia kembali melukai dan melubangi pagar tembok lain itu. Berhari-hari, berminggu-minggu, berbulan-bulan, bertahun-tahun. Selama itu, suara-suara menggoda terus mengiringi kegigihannya.
***
Tujuh pagar tembok sudah ia lubangi. Tujuh kali pula ia melakukan hal dan menghadapi peristiwa yang sama seperti saat akan, sedang dan setelah melubangi pagar tembok pertama. Usai meloloskan diri dari pagar tembok ketujuh, ia melihat pintu yang menempel di pagar tembok kedelapan. Daun pintu itu kuning keemasan, mengkilap dalam sepuhan pernis. Sebuah kunci tertancap di lubang pintu itu. Senyum lebar mengembang di bibirnya yang kisut. Ia yakin pintu di hadapannya adalah lubang terakhir yang akan meloloskannya ke dunia baru. Dunia yang diyakininya sebagai asal suara-suara yang terus menggodanya itu. Dunia yang akan menjawab pertanyaaannya.
Dengan sisa-sisa tenaga dan napas yang tesengal ia mendekati pintu itu. Gemetar, tangannya yang kurus meraih kunci. Perjuangannya melewati tujuh pagar tembok selama puluhan, bahkan ratusan tahun telah menggerogoti kecepatan, kelincahan dan kekuatannya. Tubuhnya ringkih seperti batang pinang yang keropos. Keriput menghinggapi kulitnya yang gosong. Rambut dan jenggotnya putih menyengser ke tanah. Sebentuk tongkat kayu menuntun kakinya yang tertatih.
Klak! Klak!
Begitu pintu terbuka, angin kencang meriap-riapkan rambut dan jenggotnya. Tak mau tubuhnya terjengkang, tangan kirinya cepat-cepat mencengkeram kusen pintu. Tongkat di tangan kanannya menancap bumi. Tapi, mata tuanya hanya melihat titik-titik warna-warni yang timbul tenggelam di antara lembaran-lembaran kabut tipis. Dan suara-suara itu, oh, betapa semakin mendayu dan merayu. Ingin ia melangkah, namun tembok kedelapan mengakar di sepanjang tubir jurang yang sangat curam, sangat licin, sangat lebar dan sangat dalam.
Ia diam dan kaku di mulut pintu. Gamang. Kecewa. Entah harus melakukan apa. Dunia baru itu sungguh jauh, tak terjangkau ketidakberdayaannya. (*)

#EdisiFiksi
Gambar asli dapat dari sini

Tidak ada komentar:

Posting Komentar