Seminggu belakangan ini, rekan-rekan kerja saya, terutama bapak-bapak guru yang sudah berstatus pegawai negeri, kranjingan main ping-pong. Sambil menunggu pergantian jam pelajaran atau sehabis mengajar, mereka sempatkan dulu untuk memainkan olahraga tampar-tangkis bola ini. Mereka main secara bergiliran; yang kalah diganti oleh yang ngitung skor. Kadang, kalau antrian sedang mengular, mereka memainkan partai ganda. Dan agar seragam PNS mereka tidak basah keringat, mereka melepasnya dan mending memakai kaos singlet.
Hebatnya, bukan cuma bapak-bapak guru saja yang antusias main ping-pong. Kadang, beberapa ibu guru sok-sokan kemayu ikut main juga. Meski asal tepak, teriakan dan tingkah mereka justru membuat atmosfer pertandingan lebih rame dari partai bapak-bapak guru. Saya sampai kepingkal-pingkal melihat pertandingan ping-pong amatiran antar kaum Hawa itu. Coba mereka juga singlet-an, pasti pertandingan akan jauh lebih seronok lagi (ngarep!).
Adapun halnya dengan saya, saya cuma bisa nonton. Tidak bisa berbuat banyak sekalipun tangan ini sudah gatel-gatel kepengin main. Padahal, sebagai operator sekolah, saat ini saya lebih punya waktu luang ketimbang mereka. Tapi, ya, itu tadi, saya selalu kalah set. Apalagi waktu ibu-ibu guru yang main, rasanya lebih baik gantung bet dan jadi cheerleader saja.
Kalaupun nanti bisa main, cuma menjelang bel pulang berdering. Sangat sebentar, bahkan untuk sekedar menitikkan keringat di ketiak juga tidak mungkin. Lagipula, kemampuan ping-pongis takkan maksimal dalam kondisi perut yang mulai minta makan siang.
Saya sebenarnya heran, tidak biasanya mereka main ping-pong. Sebelumya, saat menunggu pergantian jam pelajaran atau sehabis mengajar, mereka sih lebih suka nyelinap keluar gedung sekolah: bapak-bapak guru ngopi di warkop sambil udhutan, sedangkan ibu-ibu guru ke mini market, ke pasar, belanja sayur, beli camilan.
Karena penasaran, tadi saya bertanya pada Pak Pur, guru IPA, yang baru saja mengakhiri pertandingan dengan kekalahan plus napas ngos-ngosan.
"Kok tumben pada main ping-pong, Pak? Wong sebelumnya pada ndak mau kemringet."
"Situasi di luar lagi tidak aman!"
"Apanya yang ndak aman, Pak?"
"Razia Satpol PP! Ini main juga sambil nunggu situasi aman. Yah, anggap saja ini cara sehat menghindari Satpol PP."
"Oooo ...."
"Bunder! Hehehehe."
Dasar! Ndak guru, ndak murid sama aja.
Adapun halnya dengan saya, saya cuma bisa nonton. Tidak bisa berbuat banyak sekalipun tangan ini sudah gatel-gatel kepengin main. Padahal, sebagai operator sekolah, saat ini saya lebih punya waktu luang ketimbang mereka. Tapi, ya, itu tadi, saya selalu kalah set. Apalagi waktu ibu-ibu guru yang main, rasanya lebih baik gantung bet dan jadi cheerleader saja.
Kalaupun nanti bisa main, cuma menjelang bel pulang berdering. Sangat sebentar, bahkan untuk sekedar menitikkan keringat di ketiak juga tidak mungkin. Lagipula, kemampuan ping-pongis takkan maksimal dalam kondisi perut yang mulai minta makan siang.
Saya sebenarnya heran, tidak biasanya mereka main ping-pong. Sebelumya, saat menunggu pergantian jam pelajaran atau sehabis mengajar, mereka sih lebih suka nyelinap keluar gedung sekolah: bapak-bapak guru ngopi di warkop sambil udhutan, sedangkan ibu-ibu guru ke mini market, ke pasar, belanja sayur, beli camilan.
Karena penasaran, tadi saya bertanya pada Pak Pur, guru IPA, yang baru saja mengakhiri pertandingan dengan kekalahan plus napas ngos-ngosan.
"Kok tumben pada main ping-pong, Pak? Wong sebelumnya pada ndak mau kemringet."
"Situasi di luar lagi tidak aman!"
"Apanya yang ndak aman, Pak?"
"Razia Satpol PP! Ini main juga sambil nunggu situasi aman. Yah, anggap saja ini cara sehat menghindari Satpol PP."
"Oooo ...."
"Bunder! Hehehehe."
Dasar! Ndak guru, ndak murid sama aja.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar