Sebuah Kisah Utopia

Sebuah Kisah Utopia
source: 02varvara.wordpress.com
“Wahai, Demagog, mendongenglah untuk kami,” pinta bocah-bocah bermata bening itu pada seorang pria paro baya yang mereka panggil Demagog. Maka, dengan iringan desau angin di pucuk-pucuk cemara, Demagog mulai mendongeng:
Sebuah gudang menyembul di antara pohon-pohon waru, ilalang dan semak-belukar. Atapnya bolong-bolong, warnanya kusam dan cat dindingnya banyak yang mengelupas. Satu-satunya pintu yang dimiliki gudang itu menghadap ke pintu lain di bagian belakang pagar tembok sebuah rumah mewah bertingkat dua. Kedua pintu tersebut dihubungkan oleh jalan lurus berbatu sepanjang sepuluh meteran. Gudang dan semua tumbuhan liar di sekitarnya dikelilingi pagar kawat berpaku-paku yang menyambung dengan bagian belakang pagar tembok rumah mewah bertingkat dua itu. Tepat di samping gudang, berdiri pos dengan dua centeng yang menjaga dan meronda gudang.
Anggap saja kalian sukses melewati penjagaan sekaligus menjebol gembok yang mencekik pintu gudang. Sesudah membuka pintu, kalian mendapati sebuah ruangan kelabu dan bau di mana udara hanya bisa masuk lewat lubang-lubang di atap. Tiap sudut, blandar dan kuda-kuda yang menyangga atap penuh dengan sarang laba-laba. Pada salah satu bidang dinding, kawat jemuran melintang dan menyampir pakaian-pakaian kumal. Di bawahnya, bangkai televisi 12 inch dan kipas angin teronggok. Tak jauh dari dua benda yang tebal oleh debu itu, sebuah piring plastik menyisakan nasi busuk dan sebungkus garam dapur. Selanjutnya, arahkan mata kalian ke ujung ruangan. Di sana, ada kakus dekil dan bak mandi kumuh dengan kaleng bekas sebagai gayungnya dan kran air yang senantiasa meneteskan air setitik demi setitik.
Masih di dalam ruangan. Sepuluh laki-laki memakai celana dan kaos compang-camping terlentang di atas tikar-tikar kecil yang sudah koyak-moyak. Mereka, sepuluh laki-laki dan tikar-tikar kecil itu, seperti satu kesatuan yang tergeletak begitu saja di atas lantai semen. Sepuluh laki-laki itu bahkan nyaris tidak dapat dibedakan satu sama lain karena sama-sama punya tubuh kerempeng, rambut kusut acak-acakan, pipi kempot dan rongga mata yang cekung. Satu lagi, di tangan dan kaki mereka terdapat luka yang mengoreng. Sembilan di antaranya sudah mendengkur. Hanya seorang yang melek. Dialah Sarail. Usianya masih duapuluh, namun paras dan perawakannya seperti seorang tua bangka penderita asma.
Berbantal lengan, Sarail menerawang. Ia sedang mengingat upacara peringatan proklamasi kemerdekaan yang diikutinya semasa SD dulu. Tiba-tiba ia merasa perlu untuk mengingatnya. Dalam ingatannya, setiap tanggal 17 Agustus dirinya mandi pagi-pagi sekali seperti hendak merayakan lebaran saja. Mukanya berseri. Seragam, sepatu dan kaos kaki sudah dicuci bersih sehari sebelumnya. Setelah sarapan, ia samper teman-teman sekolahnya sampai terbentuklah sebuah barisan. Barisan itu kemudian berderap-derap. Melangkah tegap maju menuju sekolah. Seorang teman yang paling besar memberi komando di depan, “Krih-nan! Kiri-kanan! Prit! Prit!” Kibaran bendera-bendera dwiwarna di setiap rumah warga dan spanduk “Dirgahayu Indonesiaku” di mulut lorong kampung menambah semangat mereka. Lebih-lebih bila mendengar pekik merdeka. Begitu gegap-gempitanya sampai-sampai anak-anak kecil meloloskan diri dari suapan ibunya demi menonton kakak-kakaknya dalam barisan nan gagah itu.
Karena halamannya luas, bersih dan rindang, sekolah Sarail memang selalu jadi pilihan sebagai tempat penyelenggaraan upacara peringatan proklamasi kemerdekaan se-kecamatan. Ini juga merupakan kehormatan tersendiri bagi Sarail.
Dan betapa khidmatnya Sarail mengikuti upacara. Matanya mencorong tajam ke depan. Sikapnya siap grak. Jari-jari kakinya yang sengkring-sengkring kesemutan ditahan kuat-kuat. Bangga rasanya menjadi bagian dari suatu upacara sakral bersama pejabat-pejabat kecamatan, perangkat desa se-kecamatan dan murid-murid se-kecamatan. Barisan veteran yang mengenakan peci kuning dan stelan hijau tua juga menghadirkan kesan mendalam. Tangannya sigap menghaturkan hormat begitu Sang Merah-Putih mulai dikerek. Kumandang Indonesia Raya yang mengiringi perjalanan bendera kebanggaan menuju puncak tiang membuat dadanya haru. Haru di dadanya pun semakin membiru saat pak camat, selaku inspektur upacara, membacakan teks proklamasi. Ia seolah mendengar suara magis Sang Putera Fajar yang ditingkahi kresek-kresek gelombang radio jadul.
Sepulang upacara dan setelah ganti seragam, Sarail nonton televisi di rumah tetangga. Sebuah acara rutin tujuhbelasan sudah menunggunya: film perjuangan. Yang satu ini juga tak mau ia lewatkan. Janur Kuning, Surabaya ’45, Pasukan Berani Mati, Kereta Api Terakhir dan beberapa judul lain pernah ia tonton. Selama menonton film-film itu semangatnya bukan main. Kadang mulutnya spontan mengumpat, ”Matilah kau, Belanda tengik!” Begitu film selesai, ia dan beberapa teman langsung main perang-perangan. Tiarap di rerimbunan tanaman benguk, sembunyi di balik gedebok pisang, berlari zig-zag di antara pohon-pohong singkong sambil menembakkan bedil dari pelepah pisang atau kayu bengkok. Badan gatal-gatal dan kaki lecet bukan masalah. Tapi Sarail pasti ngambek bila kebagian peran sebagai penjajah.
*** 
Sarail kiranya menyukai sejarah. Kisah-kisah masa lalu ia simak dengan antusias. Apalagi, Pak Markasan pandai membawakan pelajaran yang konon sangat membosankan itu, sehingga terbentanglah lorong-lorong yang menggodanya untuk menyusuri kerajaan-kerajaan di Nusantara dengan ribuan prasasti dan candi, piala-piala pembukti kejayaan suatu negeri; kedatangan pelaut-pelaut Eropa yang disambut dengan ramah-tamah, namun akhirnya menjajah jua; kepengecutan para penguasa pribumi yang rela menjilat pantat kaum penjajah demi tahta dan kuasa; genangan darah dan linangan air mata dalam episode Perang Jawa, Perang Padri, Puputan Margarana, Perang Aceh, Bandung Lautan Api, Medan Area, Palagan Ambarawa. Dari Pak Markasan pula ia mengenal istilah kerja rodi, romusha, tanam paksa ataupun jugun ianfu. Beda istilah, hakikatnya sama saja.
Tidak cuma itu. Pada dinding gedek kamarnya menempel poster-poster pahlawan yang ia beli dari hasil menabung uang sakunya. Wolter Mongisidi, Pattimura, Sisingamangaraja, I Gusti Ngurah Rai, Sultan Hasanuddin, Pangeran Diponegoro dan masih banyak lagi. Menjelang tidur ia suka memandangi poster-poster itu. Membawa gegap-gempita perjuangan mereka mengusir penjajah dan menghapuskan penjajahan ke alam mimpi.
“Penjajah dan penjajahan selalu melahirkan manusia tanpa hak. Manusia tanpa hak adalah manusia yang tidak merdeka. Terbelenggu! Tentu, kalian tidak sudi hidup seperti itu, bukan? Lantas, apa yang harus dilakukan? Hanya ada satu kata, lawan!1  Karena itu, dibutuhkan tekad dan keberanian. Hanya dengan tekad dan keberanian, bambu runcing bisa mengalahkan tank dan meriam. Hanya dengan tekad dan keberanian, bangsa kita bisa meraih kemerdekaan. Mari, mari kita tauladani para pahlawan, anak-anak….”
Kata-kata Pak Markasan bertahun-tahun silam itu mengiang kembali dalam ingatan Sarail. Tapi, benarkah dirinya sudah merdeka?
Bapak-emaknya adalah orang-orang yang hidup di ruas kemiskinan. Bukan tidak mau berusaha, tapi sudah jamak bila nasib sering berkata lain. Oleh sebab itu, suka tidak suka, Sarail cukup menikmati bangku SD saja. Tamat SD ia pun langsung bekerja apa saja. Ia pernah jadi kuli angkut di pasar, buruh tani, kenek tukang bangunan sampai kemudian sebuah iklan di sobekan koran pembungkus nasi pecel membawanya ke kota. Walau bagaimana, ia juga ingin memperbaiki kurva perekonomian keluarganya dan satu-satunya jalan adalah ke kota.
Ia ingat, ketika itu bapak-emaknya melepas kepergiannya dengan tatap dan senyum yang ditegar-tegarkan.
Di kota, sesuai isi iklan, ia melamar ke pabrik wajan yang baru berdiri. Lamarannya tak tertolak. Demikian pula lamaran sembilan orang lainnya. Alangkah senangnya. Rasanya tidak sia-sia jauh-jauh dari desa datang ke kota. “Mulai besok kalian harus kerja. Soal teknis produksi, nanti ada yang ngajari. Gaji kalian 650 ribu per bulan. Waktu kerja standar. Kerja yang bagus dan aku tidak mau dengar kalian males-malesan. Camkan itu!” tegas Tuan Taruno, pemilik pabrik.
Maka, bekerjalah Sarail dan sembilan rekannya. Berminggu berlalu, berbulan berlalu, bertahun berlalu, mereka terus bekerja. Bekerja? Eit, tunggu dulu. Jangan kalian membayangkan mereka bekerja layaknya papa-mama kalian bekerja. Awalnya, mereka pun tidak menyangka semuanya akan seperti ini. Menjelang subuh, bunyi gembok dibuka, sorot senter dan bentakan seorang centeng sudah membangunkan mereka. Mereka wajib bangun, meski mata ngantuk berat dan letih di badan tidak ketulungan. Jika tidak, pukulan, tendangan dan lecut cemeti akan menyasar kepala dan punggung mereka.
Mereka kemudian digiring keluar gudang dengan tangan terikat, mata ditutup kain dan mulut disumbat lakban. Lalu, lewat pintu di bagian belakang pagar rumah mewah bertingkat dua itu, centeng-centeng akan menyeret mereka masuk ke dalam mobil boks yang terparkir di halaman samping rumah Tuan Taruno itu. Di dalam boks, dua centeng dengan pistol dan pentungan menjaga mereka. Membuat mereka tak berkutik dan tahu-tahu sudah berada di dalam pabrik. Pabrik yang lebih layak disebut tong sampah besar; bau sangit melekat di setiap jengkal ruangan sehingga siapa saja yang menciumnya akan mual dan muntah; dinding batakonya gosong, penuh butiran-butiran debu dan sarang laba-laba; lembaran-lembaran alumunium foil berserakan di atas lantai; potongan-potongan kayu dan limbah tripleks bertumpukan di sana-sini, di mana tikus-tikus sebesar anak kucing akan semburat bila tumpukan-tumpukan itu dibongkar; berkarung-karung bahan wajan menggonggok di tiap sudut; dua tungku raksasa dari tanah liat di tengah ruangan tampak begitu jahanam, siap membakar dan melelehkan apa saja. Di luar, hampir menutup pintu, bertumpuk karung-karung berisi tanah liat. Rumput-rumput dibiarkan tumbuh liar. Tumpukan daun dan ranting kering yang berserakan di halaman tidak pernah tersapu. Sering terlihat ular, kalajengking dan kelabang merayap keluar dari sana. Tepat di tengah halaman berdiri pohon sawo yang jika diperhatikan lama-lama akan tampak menyerupai sosok hantu hitam menakutkan. Di bawah pohon sawo itulah centeng-centeng Tuan Taruno mengelilingi meja yang di atas permukaannya menggeletak beberapa botol bir, parang, pentungan, rantai bergerigi, cemeti dan pistol. Sambil membanting kartu dan memasang taruhan kecil-kecilan, mereka misuh-misuh dan tertawa ngakak.
Jalanan memang ramai, namun tak satu pun yang melirik pabrik itu. Orang-orang sudah seperti lempengan-lempengan besi dengan lilitan kabel di sana-sini. Sibuk ke sana ke mari menenteng tas, belanjaan, map, laptop atau asyik messenger-an, sementara Sarail dan sembilan temannya terus mencipta wajan sampai lepas tengah malam. Tak ada lagi waktu bagi mereka untuk sekedar menanyakan hari ini apa, tanggal berapa, bulan apa dan tahun berapa. Mereka juga tidak peduli, meski tangan dan kaki sering terjilat api atau terkena lelehan alumunium, seolah itu tidak ada apa-apanya ketimbang gaji yang tak pernah dibayar, gamparan para centeng dan ancaman Tuan Taruno. Merah bagi mereka adalah api dan putih adalah buah-buah penderitaan yang pada salah satu sisinya terdapat label “CINTAILAH PRODUK DALAM NEGERI.”
“Anjing-anjing yang manis, waktunya makan. Hup! Hup! Hup!” Tengah hari, secara bergiliran mereka makan. Seorang centeng membawakan mereka nasi busuk lengkap dengan dua tiga potong daging yang masih anget-anget kuku dan satu teko air kecokelatan. Si centeng kemudian duduk jongkok, menertawakan cara mereka makan yang betul-betul mirip seekor anjing sedang makan. Dan tahukah kalian daging apa yang mereka makan? Itu daging tikus!
Malam, mereka lewati tanpa bintang dan bulan. Tanpa keluh dan kesah. Bahkan, tanpa mimpi buruk sekalipun. Mereka adalah gelimpangan mayat-mayat yang setiap pagi buta selalu bangkit dalam belenggu penderitaan.
Tapi Sarail sudah membulatkan tekad dan keberanian. Nanti, menjelang subuh, ia akan melakukannya. Saat seorang centeng membuka gembok dan melongokkan kepala di pintu gudang, ia akan mengepruknya dengan bangkai televisi. Begitu si centeng menggelepar, ia akan menghajarnya sampai mati, lalu membangunkan teman-temannya untuk mencincang habis centeng-centeng lain. Setelah beres, ia dan teman-temannya akan mengobrak-abrik rumah mewah bertingkat dua itu. Menyeret Tuan Taruno yang tidur mendekap kalkulator.
*** 
Demagog menghentikan dongengnya. Membiarkan bocah-bocah bermata bening yang duduk anteng di depannya membuat imajinasi tentang lanjutan nasib Sarail dan teman-temannya. Namanya bocah, macam-macamlah imajinasinya. Sama-sama tak mau kalah. Ada yang bilang Sarail dan teman-temannya bisa meloloskan diri dan berkumpul bersama keluarga kembali. Ada yang bilang Sarail dan teman-temannya ditangkap polisi karena membunuh dan mengobrak-abrik rumah. Ada pula yang bilang Tuan Taruno ketakutan sehingga terpaksa menyerahkan pabrik wajan pada Sarail dan teman-temannya.
Demagog menyudahi ribut-ribut itu.
“Sarail memang berhasil merobohkan centeng yang membuka tembok gudang. Tapi suara keprukan bangkai televisi terdengar sangat hingar sehingga teman si centeng yang kelojotan meregang nyawa itu menembakkan sebutir peluru yang langsung menembus pelipis Sarail. Sarail nyungsep bersimbah darah. Pagi itu juga, mayatnya dibuang ke kali, sedangkan teman-temannya tetap dalam belenggu Tuan Taruno. Inilah akhir dongeng yang kunukil dari kebohongan paling bohong. Sederhana memang… dan sama sekali tidak penting.”
Demagog kemudian berdiri. Melangkah. Terus melangkah ke balik cakrawala, mengarang kebohongan demi kebohongan dan mendongengkannya kepada siapa saja yang meminta. Sementara itu, desau angin masih bertengger di pucuk-pucuk cemara. Sayup-sayup dendang menggema.
Indah sekali Dongeng tidurku Nenek yang bercerita Siapapun percaya…2

Keterangan:
1: Potongan bait puisi Wiji Thukul
2: Intro Indonesia (Slaank)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar