Asmaradhana Kalimo dan Noerma

Asmaradhana Kalimo dan Noerma
Pukul 03.15. Lebih dari setengah jam kita duduk di bangku terminal ini, menunggu bis kota yang akan mengantarmu ke kost. Lenganku melingkari pundakmu. Matamu memejam. Kepalamu rebah di dadaku. Sesekali menggigit bibir, menahan sakit, seraya mengusap perut. Luka tak terkata kurasakan merembes dari pori-pori wajahmu.
“Eh, mereka melihat kita.”
Kau menggeliat tanpa membuka mata.
“Biarin. Toh, mereka tidak kenal kita.”
Lenganku yang semula melingkari pundakmu kaualihkan ke pinggangmu. Kaurenggut pula lenganku yang lain, lalu kaulingkarkan di perutmu. Sepertinya, kau membiarkanku (atau memintaku?) untuk memelukmu. Saat kurasakan kepalamu melekat di dadaku, kau pun memelukku. Dengan posisi seperti itu, tak sengaja kulihat belahan dadamu dari kerah t-shirt yang lupa kaukancing. Untuk beberapa kejap, mataku jadi nakal sampai kemudian kurapatkan jaketmu.
Kau adalah perempuan kedua—setelah ibuku—yang kupeluk dan memelukku. Tapi kau adalah perempuan pertama yang melekatkan kepala di dadaku. Aku memang belum pernah punya kekasih, pacaran.
Aku menghempas napas, memejam, lalu mengedarkan pandang. Dalam balutan kantuk, kulihat terminal masih sepi. Beberapa bis terbujur kaku, silang cengkarut, di area parkir. Segelintir calon penumpang juga menunggu, di bangku lain, di sebelah bangku yang kita duduki ini. Satu dua kantin yang masih buka semarak oleh denting gelas kopi, keplak kartu domino, obrolan dan gurauan tukang ojek dan sopir taksi. Lima kali kutolak tawaran jasa mahal orang-orang itu. Nah, beberapa di antara orang-orang itulah yang mencuri pandang ke arah kita. Risih, sih, tidak. Tapi aku takut mereka menyangka kau pelacur yang kecantol pelanggannya. Konon, di belakang terminal ini banyak pelacur yang mangkal setiap malam.
“Mereka kira aku pelacur kesiangan yang minta tanggung jawab Mas Simblung!”
Aku jadi ingat kalimat yang kauucapkan selepas dari gerbang rumah keluarga pacarmu itu.
Mula-mula aku sama sekali tidak tahu apa yang menimpa dirimu. Kau hanya meneleponku, mengajakku ke kota itu untuk melayat seorang temanmu yang meninggal. Selama perjalanan ke kota itu pun kau lebih banyak menceritakan garapan skripsimu yang belum rampung-rampung atau menanyakan nasibku yang kebetulan bisa meluluskan diri lebih awal dari program yang kita tekuni sama-sama. Aku tak curiga meski kadang kau menggigit bibir seraya mengusap perut. Baru setelah menginjakkan kaki di pelataran terminal kota itu kau mengatakannya.
“Aku hamil tiga bulan. Apapun yang terjadi, aku takkan menggugurkannya.”
Aku terkejut.
“Yang mati itu pacarku, asli orang sini. Beberapa hari lalu mayatnya dikuburkan di sini. Dia tentara. Kata teman-temannya, bunuh diri. Entah kenapa. Malangnya, aku baru tahu kalau dia punya istri justru setelah kematiannya.”
Wajahmu mendung.
“Kami ketemu di acara ulang tahun teman kost-ku. Lantas semuanya berjalan begitu saja. Kami pacaran. Sampai dia mati, hubungan kami belum genap setahun. Selama pacaran, aku tak kuasa menolak paksaannya hingga beginilah akhirnya. Aku hamil, dia mati... Selain melihat kuburnya, aku ingin keluarganya tahu dia sudah menanam benih di rahimku.”
Mendung menitikkan air mata di sudut matamu. Kurasakan perih menyentil dadaku. Naluriah, kurangkul pundakmu.
“Kau orang pertama yang tahu dan tolong jangan beri tahu teman kita tentang ini.”
“Orangtuamu?”
“Habis wisuda saja. Bila sekarang kuberi tahu, tamatlah studiku. Aku juga masih butuh transferan untuk memeriksakan calon cucu mereka ini.”
Aku diam.
“Kau tidak jijik bareng aku, kan?”
Aku menggeleng.
Dan selama perjalanan pulang ke kota tempat kita mengunduh ilmu ini, kau lebih sering mengusap matamu yang basah, menggigit bibir, menahan sakit. Kadang kau mengaduh, merasakan pedih yang mengiris perut. Kau tampak begitu lega memperlihatkan kesedihan dan kepedihan setelah kutahu semuanya. Aku tak bisa berbuat banyak, selain merengkuh pundakmu. Membiarkanmu membenamkan kepala ke dadaku. Ya, seperti katamu, semuanya berjalan begitu saja.
“Kenapa?”
Kautatap wajahku. Lamunanku buyar.
“O, tidak, tidak. Tidurlah lagi. Bis kota-mu belum datang.”
Matamu kembali memejam. Semakin erat memelukku.
“Aku tahu diriku lemah, maka aku harus mencoba untuk lebih kuat.”
Suatu hari kaukatakan itu: self motivation yang membuatmu tersenyum dan tertawa. Bahkan, kau tampak biasa saja saat kita melihat lokasi pacarmu bunuh diri.
"Katanya, Mas Simblung lompat ke situ."
Aku melihat ke bawah jembatan gantung tempat kita berdiri gandengan tangan. Batu-batu sebesar gajah yang menyembul di antara deras arus air kali membuatku merinding. Batok kepala pacarmu pasti langsung amburadul saat menabrak batu-batu itu dan mulutnya tak sempat menyebut namamu.
"Mayatnya keseret arus ke sana."
Kuikuti arah telunjukmu: beberapa batang bambu tumbuh melengkung, mencium permukaan kali. Kain-kain rombeng tampak menggelantung pada duri-durinya.
"Yuk, jalan lagi!"
Kaulepas gandengan tangan, lalu melangkah mendahuluiku. Lincah.
"Hei, hei, tunggu! Aku takut ketinggian!"
Kau tertawa hingga punggungmu terguncang.
Sepulang dari kota mendiang Mas Simblung-mu itu, kita memang jadi lebih dekat. Tiap hari aku main ke kost-mu. Menemanimu ngobrol, jalan-jalan, garap skripsi dan bahkan mengaku sebagai suamimu saat mengantarmu periksa kandungan. Malamnya, saat aku di rumah, kita meneruskan obrolan lewat handphone. Barangkali karena sering ketemu, telepon dan SMS-an, tumbuhlah rasa untuk saling memperhatikan di antara kita. Kau juga tampak semakin nyaman menggandeng tanganku, merebahkan kepala di dadaku, tiduran di pahaku, memelukku. Kenyamanan yang membuatku semakin suka merangkul pundak atau pinggangmu. Kendati demikian, kita tak sampai ciuman dan kuda-kudaan.
“Kau tak ingin punya pacar?”
Di hari lain kautanyakan itu.
“Bukan hanya pacar. Aku ingin memperistrimu.”
Hatiku yang menjawab pertanyaanmu itu.
Kuakui, kedekatan kita membuat aku cinta kau. Sayangnya, aku terlalu banyak pertimbangan. Aku takut kau menolak bila aku mengatakannya. Umpama kau menerima, aku takut keluargaku tak memberi restu. Andai kau menerima dan keluargaku memberi restu, aku takut tak bisa menghidupimu dan anak yang kaulahirkan….
Aku pun menyimpan cinta ini. Rapat.
Beberapa bulan kemudian, kau diwisuda. Kandunganmu 7 bulan sudah. Tubuhmu yang ramping rupanya memudahkanmu untuk menyembunyikan detak kehidupan yang membukit di perutmu dari pandangan teman-teman kita, juga bapakmu yang menghadiri wisudamu. Usai prosesi pentasbihan kesarjanaan itu, aku blingsatan mencari dirimu di antara ratusan wisudawan-wisudawati. Nihil. Aku kemudian memburumu ke kost dan mendapatimu sedang beres-beres.
“Maaf, aku tidak bilang sama kamu. Tadi aku nganter bapak dulu ke terminal.”
“Kamu juga mau pulang?”
Aku merasa akan kehilangan dirimu.
“Tidak. Aku mau cari kerja dulu di kota ini, siapa tahu dapat.”
Kemesraan kita berlanjut. Aku temani kau cari kerja sekalian cari kerja untuk diriku sendiri. Berdua, kita habisi pagi, siang dan sore. Malamnya, seperti biasa, kita meneruskan obrolan lewat handphone. Tetap saling memperhatikan. Cinta yang semakin merajai, kusimpan semakin rapat; aku masih menimbang dan menimbang. Sampai pada suatu ketika, karena belum juga dapat pekerjaan, kau meninggalkan kota ini tanpa pamit. Kuparani ke kost, kau tidak ada. Kukirim pesan pendek, tidak kaubalas. Kutelepon, tidak kauangkat.
Aku mengkhawatirkanmu. Aku merindukanmu. Aku merasa kehilangan dirimu.
“Bapak-ibu mengusirku. Maaf dan simpuh tiada guna. Mereka tidak mau arang yang kubawa mencoreng wajah mereka. Sekarang aku tinggal di kota lain bersama adikku. Untung, adikku mau menerimaku. Untung pula, bapak-ibu masih mengirimiku duit. Tapi, beratlah sangat hamil tanpa seorang suami ada di sisi. Semuanya kukerjakan sendiri.”
Pesan pendek di senja yang perih. Maafkan laki-laki yang gagap dengan segala pertimbangannya ini sehingga tak mampu menjadikan cintanya sebagai Imam Mahdi.
Praktis, selama kau jadi interniran di kota yang tak kausebut namanya itu, kita tak bisa ketemu lagi; hanya saling memperhatikan dan saling menukar kata lewat handphone. Tak ada lagi yang menggandeng tanganku, merebahkan kepala di dadaku, tiduran di pahaku, memelukku. Tak ada lagi yang kurangkul pundak atau pinggangnya. Namun, bukan berarti cinta ini lenyap sama sekali.
“Sebentar lagi bayiku akan lahir. Kuharap bayiku cowok biar kelak tidak repot cari wali. Do’akan aku, ya….”
“Kabari aku, lho. Aku mau ke situ.”
“Oke! Bawain aku perlengkapan bayi. Ini, kan, bayimu juga. Masih ingat pengakuan di depan bidan dulu? Hehehehe…”
“Hahahaha! Masihlah… Oke, oke, besok kubawakan.”
“Eh, bercanda, ding. Aku masih ada duit, kok. Bener, aku cuma bercanda.”
Tapi kau tak pernah mengabariku. Apakah bayimu laki-laki atau perempuan, aku tidak tahu. Bagaimana keadaan kalian, aku juga tidak tahu. Nomermu tidak aktif. Aku betul-betul kehilangan dirimu.
Oh. Rindu, cinta, kehilangan. Entah bagaimana lagi cara mengobati perasaan itu?
Setelah kau menghilang, aku menyusul ibuku ke perantauan karena kota sangat pelit memberiku pekerjaan. Syukurku, di perantauan aku mendapatkan pekerjaan. Tapi aku justru angslup dalam kesepian dan kebosanan. Kesepian dan kebosanan yang kemudian membuatku memadu rindu dan cintaku kepadamu. Demi mengusir dua penyakit itu, aku sering main telepon dan pesan pendek dengan salah seorang teman kuliah kita dulu. Demikianlah. Saat aku merapatkan rindu dan cintaku kepadamu, aku juga mulai merindukan dan mencintai dia. Ringkas kata, dia menyambut rindu dan cintaku. Kami pacaran jarak jauh. Dua tahun lamanya. Selama itu kami hanya ketemu saat aku mudik. Dan entah kenapa aku seperti tak memiliki pertimbangan hingga akhirnya kami menikah. Pada tahun keempat, dia menggugat cerai sehingga pernikahan kami pun bubar. Kulepas kayuh biduk rumah tanggaku, meski hatiku tak tega meninggalkan anak kami yang masih kecil. Aku tak menduga bila penghasilannya yang jauh lebih besar dan ketangkasannya mencaci penghasilanku yang angin-anginan akan mengakhiri pernikahan kami. Aku juga tak menduga bila perangainya melenceng dari masa-masa pacaran. Sejak tak sebiduk lagi dengan dia, aku kembali ke perantauan.
O, sepi, kenapa kamu datang lagi menggerogoti hati? Tolong, jangan kamu jamah laki-laki gagal ini, yang sebelum dan selama pernikahannya hingga setelah perceraiannya masih merapatkan rindu dan cintanya pada seseorang yang entah ke mana, entah di mana dan entah bagaimana itu…
“Hai, apa kabar? Ini aku. Noerma.”
Beberapa bulan setelah surat cerai kuterima, pesan pendek dari dirimu mendadak menghijaukan tanah tandus di sekelilingku .
“Hai, hai! Ini bener kamu?”
“He’eh, masa aku bohong. Memangnya kau tukang bohong.”
Kautahu kalau aku sudah membohongi perasaanku, mengkhianati rindu dan cintaku kepadamu? “Hahahaha! Cuma bercanda, jangan sewot!”
“Kamu ini… Ke mana saja? Bikin bingung orang saja.”
“Ceritanya agak panjang. Habis melahirkan, aku kembali meratap-ratap pada orangtuaku karena ternyata aku tak bisa menafkahi anakku dengan baik. Sungguh aku sangat bersyukur karena mereka mengasihani jagoan kecilku. Enam tahun umurnya sekarang. Sementara dia tinggal bersama orangtuaku, aku merantau ke kota ini. Bagaimanapun, aku masih merasakan diriku arang bagi wajah mereka. Dan syukurlah, aku jadi pegawai negeri di sini.”
“Sekarang kamu di mana?”
“Kota D. Jauh, ya? Tapi, kan, masih bisa SMS kamu.”
“Apa dulu tidak bisa SMS aku?”
“Maafkan aku. Aku merasa sudah merampas privasimu, jadi sebaiknya tak menghubungimu.”
“Ah, siapa bilang begitu. Terus, kenapa sekarang SMS?”
“Memang ada yang melarang aku SMS duda? Hehehehe…”
“Lho?”
“He’eh, aku tahu. Ada teman kita yang cerita kepadaku. Aku turut prihatin.”
“Sudahlah, aku tak mau membahasnya.”
“Ya, sudah, kita bahas kita saja. Hehehehe….”
Bunga-bunga mekar. Yang hilang sudah kembali, meski terhalang jarak jauh sekali. Aku tak lagi angslup dalam kesepian dan kebosanan. Suara dan kata-kata kembali saling memperhatikan. Puncaknya, cintaku kepadamu yang sedemikian rapat kusimpan semakin tebal. Kiranya sudah waktunya aku mengatakan kalimat klasik itu.
“Aku mencintaimu…”
“Hah? Hahahaha! Jangan bercanda, ah. Basi!”
“Pokoknya, kamu punya pasangan atau tidak, aku tetap mencintaimu!”
Aku menunggu jawabanmu.
“Mmm… gimana, ya… Aku belum punya siapa-siapa. Tapi…”
“Tapi apa?”
“Aku juga mencintaimu!”
Jantungku seperti longsor mendengar jawaban dadakanmu. Kucubit pipiku. Sakit. Benar-benar bukan mimpi.
“Yang bener, lho?”
“Dibilangin kok gitu, sih. Aku memang mencintaimu. Sejak masa-masa itu malah. Aku menemukan kenyamanan di dekatmu dan pelan-pelan kenyamanan itu menjadi cinta. Kau saja yang tidak tanggap.”
Oh, Tuhan. Benarkah yang kaukatakan itu?
“Kok, tidak bilang dari dulu saja?”
“Yeee, masa cewek nembak cowok. Malu, dong. Lagian aku juga tahu diri. Mustahil seorang perempuan hamil mendapatkan cinta dari laki-laki semacam dirimu.”
Selanjutnya, kita benar-benar pacaran, meski jarak jauh. Kita tak malu lagi mengumbar kata rindu dan cinta. Kata-kata seperti “love you, miss you, aku ingin kaucium, aku ingin kaupeluk” saban waktu kita ucapkan. Panggilan pun berubah: kaupanggil aku ayah atau mas, sedangkan aku memanggilmu mama atau adik. Dan lambat-laun kita mulai abai menjaga kekang hypothalamus dalam otak kita. Bayangan dan khayalan akan kenikmatan itu acap membumbui kalimat-kalimat yang kita cakapkan.
“Aku menginginkannya…”
Kita sama-sama mengucapkannya dengan engah napas yang memanas.
“Di kota tempat kita dulu menghabiskan waktu bersama saja, Mas.”
“Di hotel, Dik?”
“He’eh. Lebih aman, Mas.”
“Tapi Adik tidak terpaksa, kan?”
“Aku juga kepingin, Mas. Aku mencintai Mas. Semuanya buat Mas.”
“Aku juga mencintaimu, Dik…”
Maka, di pertemuan pertama kita saling melampiaskan rindu dan cinta dalam balutan desah dan lenguh memanjang di kamar hotel yang pada dindingnya terdapat coretan-coretan lipstik berbentuk hati. Kita mereguk kenikmatan itu dalam-dalam. Di pertemuan-pertemuan berikutnya tak ada bedanya. Kau tentu masih ingat nama-nama tempat kita saling merekatkan rindu, cinta dan api asmara. Betapa dinding kamar hotel-hotel itu menjadi saksi bagi ucapan “aku mencintaimu” setiap kita memulai dan mengakhiri pergumulan. Betapa ranjang di kamar hotel-hotel itu menjadi bukti bagi setia yang kita punya.
“Aku lebih suka Mas segera menikahiku!” kata Noerma sambil melemparkan cerita itu ke wajah Kalimo. Kalimo sendiri sengaja menulis cerita itu sebagai napak tilas hubungannya dengan Noerma yang sekarang sudah menginjak tahun ketiga.
“Iya, tapi jangan kasar begitu, dong,” balas Kalimo, “kalau waktunya tiba, kita menikah.”
“Mas sudah berjanji untuk menikah denganku. Mestinya Mas yang tahu waktunya.”
Kalimo menggeliat bangun, lalu memeluk Noerma—yang duduk di tepi ranjang—dari belakang. Tubuh mereka masih bulat telanjang. Beberapa saat lalu, sebelum cerita itu mengulang ingatan Noerma akan pernikahan, mereka saling melampiaskan rindu dan cinta dalam balutan desah dan lenguh memanjang.
“Beri aku waktu, Dik…” bisik Kalimo.
“Mas sengaja mengulur waktu. Aku tahu, Mas masih berat meninggalkan anak hasil pernikahan Mas dengan dia. Aku juga tahu orangtua Mas melarang kawin lagi, sementara kantong Mas sangat tergantung pada mereka. Semua itu bikin Mas menimbang-nimbang, bukan?” tohok Noerma dengan ketus. Namun, ia tetap membiarkan tubuhnya dalam pelukan Kalimo.
Kalimo terdiam. Kenapa pertimbangan-pertimbangan sulit selalu muncul untuk Noerma, batinnya.
“Aku mencintaimu, Mas. Tulus! Aku mohon, jangan permainkan aku…” Air mata Noerma tak terbendung. Tubuhnya yang langsat seperti terhempas badai.
“Aku juga tulus mencintaimu, Dik… Aku pasti menikahimu, membahagiakanmu…”
Kalimo mengecup tengkuk Noerma.
“Kapan, Mas…”
“Sabar, Dik…”
Noerma memiringkan tubuhnya. Membenamkan kepalanya ke dada Kalimo. Kalimo membelai rambut Noerma. Mengusap air mata Noerma. Memeluk Noerma lebih erat. Ketika air mata Noerma mengering, Kalimo mencium pipi dan melumat bibir Noerma. Noerma membalas ciuman dan lumatan Kalimo. Hangat. Panas. Seperti bara.
Dan gorden kuning gading itu pun kembali mencetak sepasang bayangan yang menyatu. Sayup-sayup terdengar lenguh dan desah, entah untuk yang keberapa kali. Dua potong nada lembut mencuri waktu dalam dekapan sepasang bayangan yang menyatu itu:
“Kita akan menikah, Sayang…”
“Kita selesaikan ini dulu, Mas…”
Kalimo dan Noerma pun kembali melupakan sesuatu yang seharusnya menjadi buah ketulusan cinta mereka. (*)

Note:
Cerita ini fiksi belaka. Apabila ada kesamaan nama dan peristiwa, bukanlah kesengajaan. 

2 komentar:

  1. wuiiiihhh...ternyata mas widi ini...trims kunbalnya..sukses mas..

    BalasHapus
    Balasan
    1. sama-sama mas bolle,,, :) sukses juga buat sampeyan

      Hapus