Perkara Sawit dan DiCaprio

Perkara Sawit dan DiCaprio
Saya ingat betul, dulu tetua-tetua di kampung saya saat bepergian ke Jawa menyimpan ketakutan tersendiri. Ketakutan yang pada masa milenium sungguh memancing mulut untuk ngakak selama 3 hari 3 malam. Apakah gerangan itu? Turis! Ketika akan berangkat, terutama saat menggunakan bus, tak lupa mereka berdo'a mudah-mudahan tak sekendaraan dengan turis berambut pirang nan berbahasa manca. 
Apa pasal mereka takut sama turis?
Bom, inilah sumber ketakutan mereka. Mereka percaya tas-tas gede yang menggelayuti punggung turis menyimpan bom yang sewaktu-waktu akan diletakkan di dalam bus yang mereka tumpangi dan akan diledakkan begitu si turis turun dari bus. Saya tidak tahu apakah ketakutan tersebut berkembang liar di seluruh Madura atau cuma di kampung saya. Yang jelas, berkali-kali naik bus dan beberapa kali satu bus dengan turis asing, saya, kakak, bapak dan ibu tak pernah mengalami bus meledak seperti yang lumrah terjadi di Afganistan.
Menurut saya, ketakutaan tersebut terjadi karena dua faktor yang inlanderistik. Pertama, turis asing masih mereka curigai sebagai tentara-tentara semut ireng kolonial dengan ransel berisi granat dan peluru. Kedua, tetua-tetua di kampung saya merasa hidupnya amat rekoso bagai hidup di masa penjajahan (belum merdeka).
Begitulah dulu tetua-tetua di kampung saya punya ketakutan. Sekarang, sudah lenyap. Entah karena perkembangan jaman, entah karena ketakutan tersebut tak pernah terbukti.
Tapi, di tahun 2016, ternyata saya menemukan ketakutan semacam ketakutan tetua-tetua di kampung saya dulu. Gara-garanya tak lain tak bukan adalah celotehan seorang Leonardo DiCaprio di akun Instagramnya:
Seiring dengan berlanjutnya pembukaan hutan di Indonesia untuk memenuhi kebutuhan kelapa sawit, maka (nasib) orang utan di Sumatera kian terdesak dan makin terancam
Secara pribadi, saya tidak menemukan ancaman apa-apa dalam celotehan bintang Titanic itu. Wajar seorang seorang turis plus penyayang lingkungan berkata demikian. Saya pun bersyukur ternyata masih ada yang peduli sama lingkungan di Indonesia.
Sungguh naif apabila pemerintah kemudian memandang serius apa yang ditulis oleh DiCaprio tersebut. Apalagi sampai menduganya sebagai kampanye negatif terhadap industri kelapa sawit sehingga perlu untuk menyelidikinya. Buang-buang energi saja.
Saya tidak punya data dan emoh nyari data tentang kelapa sawit Indonesia. Tapi, dalam pandangan bodho saya, penentu sebuah industri nasional tetaplah kebijakan pemerintah dan pasar internasional. Kalau kebijakannya antah-berantah dan pasar internasional sedang lesu, lak yo sawitnya mesti amburadul tho. Lagian, provokasi negatif soal sawit tahun lalu kan sudah dilakukan oleh gerombolan asap yang ngamuk-ngamuk sampai bikin ISPA dan kabut, bahkan menjamah udara negeri jiran.
Ya, ya, saya tahu. Ketakutan dan kekepoan pemerintah tersebut hanya karena yang nulis kebetulan seorang aktor yang sudah kondang kaloka dan baru saja menang Oscar. Coba yang nulis bocah-bocah SD, paling-paling pemerintah cuma mesam-mesem saja. Paling banter sok memuji dan pura-pura bangga Indonesia punya generasi yang cinta lingkungan.
Bukannya saya mbelani DiCaprio lho. Saya cuma heran, wong cuma status Instagram seperti itu kok. Kalaupun mau menggubris ndak usahlah pake gaya preman, mengancam orang ndak boleh berpakansi ke Indonesia. Apa ndak sebaiknya status DiCaprio itu dijadikan tantangan untuk membuat varietas sawit terbaru, tentu yang lebih ramah orang utan. Nanti namanya Sawit DiCaprio, keren tho?
Sebagai pungkasan, umpama mau memblokir kedatangan DiCaprio di Indonesia, sekalian saja larang film Titanic tayang saban Hari Valentine biar jomblowan-jomblowati ndak merasa tersakiti hatinya.
Matur nuwun. Salam.
Sumber gambar: The Guardian

Tidak ada komentar:

Posting Komentar