Postingan Sepulang Nongkrong

Postingan Sepulang Nongkrong
Kampung begitu lengang. Jalan senyap sudah. Pintu-pintu mengatup, mengurung mimpi dalam tidur sang empunya rumah. Sesekali, terdengar gema mesin perahu dari laut di utara kampung. Angin berkeriap, tak urung menggoncang-goncang reranting akasia. Sehelai dua helai daunnya terenggut, gugur ke tanah basah sisa hujan maghrib tadi, lalu terseret-seret melas di atas aspal.
Malam tepat di titik tertengahnya. Lima pemburu tokek dengan senter di kepala, alat setrum di punggung dan wadah hasil buruan menyelempangi pundak, berjalan pulang. Terkantuk-kantuk.
"Pangapora ..."
"Enggih ... Tak ambuwe gellu?"
"Kalangkong ..."
Mereka menyapa. Kami menjawab.
Kiranya, hanya kami yang masih betah melek. Sekumpulan kelelawar tua yang meleseh di atas lincak, berkerukup sarung, menahan tusukan jejarum dingin. Mug kopi yang sudah beberapa kali dijok dan nampan karet dengan sukun godhog yang tinggal tiga potong saja menggeletak di tengah-tengah. Tawa pelan menjejali obrolan. Kadang berbisik bila sudah nyerempet-nyerempet aib tetangga.
Adalah rumah Kang Latif, tempat kami menghabiskan malam. Seorang generous, yang senantiasa merindukan kehadiran kami di rumahnya. Ikhlas tak ngeloni anak-istri, ikhlas pula menyediakan semug kopi sachetan. Kadang, berembug dengan sang istri untuk meyuguhkan godhokan, gorengan, bahkan bila rejeki sedang lebih, tak segan motong ayam yang sangat halal untuk kami santap.
Bagi kami, rasanya tak ada hiburan malam terbaik selain nonggo, nongkrong, di rumah Kang Latif. Lesehan di atas lincak beralaskan hamparan tikar rakara (daun siwalan). Nyeruput kopi dari mug yang sama, tanpa harus jijik dan was-was tertular virus berbahaya. Ngobrol ngalor-ngidul, ngetan bali ngulon. Menghidupkan guyon, mengguyoni hidup. Misuh-misuh hanyalah bumbu semata, tak ada yang memasukkannya ke hati dan menyimpannya sebagai kesumat. Semua dalam suasana akrab, sesuatu yang tak melulu terdapat di cafe, diskotik dan kumpulan-kumpulan perlente lainnya.
"Oaaaahem ... Oaaaahem ..."
Pukul 02.30. Sekian mulut rajin menguap. Tiba waktunya untuk melangkah pulang, merehatkan badan sebelum saat bekerja menjelang.
Langkah saya terantuk kaleng rombeng yang tergeletak di tepi jalan. Menggelinding, membentur-bentur aspal. Preng! Preng! Preng! Bunyinya cukup gaduh. Saya tak awas rupanya. Kantuk sudah sangat menggedabel di mata saya. Kantuk yang mengalahkan kopi, kepul asap rokok, sukun godhog, kemurahan Kang Latif, keakraban obrolan, semua pelipur yang saya dapatkan di tongrongan.
Begitulah, kisah malam saya. Hanya saja, sejauh saya di sini, di kampung ini, di tongkrongan, di rumah Kang Latif, satu yang tak saya dapatkan: aroma ampas tahu. Itulah salah satu yang bikin kangen untuk leyeh-leyeh bareng kawan kala pulang ke Sukohardjo. Begitu truk pengangkut ampas tahu lewat, amboy ... sedap nian busuknya, dua liang hidung mekar seketika. Makin sedap mendengar kawan-kawan pada misuh:
"Buajiruttt! Mambune ngungkuli tellek. Asssuuu!"
Zzzzzzzzzzz .... Zzzzzzzzzzz

Tidak ada komentar:

Posting Komentar